Menetesi Batu

Aku kaget mendapati salah satu karya yang kubuat sebagai contoh untuk murid-murid kelas 2 dan 3 tergeletak di lantai. Sobek menjadi tiga bagian. Ketika aku  bertanya pada kelas itu, siapa yang bisa menjelaskan atau bertanggung jawab atas rusaknya karya contoh (exemplary work) tersebut, semua mata, telunjuk dan suara murid-muridku mengarah pada seorang anak perempuan dari kelas 2. Aku memintanya tinggal ketika murid-murid lain kembali ke kelas.

Ms. K : Bisa kamu jelaskan bagaimana contoh karyaku bisa sobek jadi tiga bagian begini?

Murid : *mengendikkan bahu sambil memandang ke arah lain* ya karena nggak ada yang punya, aku robek aja.

Ms. K : Tapi kita kan punya kesepakatan. Jika kamu menemukan karya orang lain tertinggal di meja atau di lantai, dimanapun maka kamu harus bertanya pada kelas. Kamu tidak bisa sembarangan merobek atau merusak karya orang meskipun ia tertinggal dan kamu tidak tahu siapa pembuatnya!

Murid : *melengos* Ya kan tinggal bikin lagi aja.

Ms. K : Bukan itu poinnya! Poinnya adalah kamu tidak boleh sembarangan  memperlakukan barang milik orang lain, dimanapun kamu menemukannya. Apalagi merusaknya. Itu membuat orang yang membuatnya jadi sedih. Kamu tahu itu kan?

Murid : Tidak. Tidak tahu *ia kembali memalingkan wajah*

Ms. K : *suaraku mulai bergetar menahan emosi* Kalau begitu dengarkan aku, aku kasih tahu kamu sekarang juga bahwa aku sedih dan marah dan kecewa kamu merusak karyaku tanpa alasan yang jelas.

Murid : *kembali mengendikkan bahu*, karya itu tidak ada yang punya kok.

Ms. K : Itu karya punyaku dan teman-teman sekelompokmu meminjamnya. Nah, sekarang kamu tahu aku sedih dan marah karena karyaku dirusak. Tidakkah kamu ingin mengatakan sesuatu padaku?

Murid : Nggak ada. *ia mendongakkan kepalanya dan berbicara dengan dingin padaku*

Ms. K : Kamu tidak ingin meminta maaf? Aku akan maafkan jika kamu memintanya dengan baik dan sopan.

Murid : ck!! *berdecak kesal*

Ms. K : Kamu tidak ingin meminta maaf?

Murid : Tidak!

Ms. K : Kamu merusak karyaku dan kamu tahu perasaanku tapi kamu tidak ingin meminta maaf?

Murid : Tidak! *ia kembali melengos dan mengangkat dagunya tinggi*

Ms. K : Baiklah, kalau begitu aku juga tidak ingin kamu ikut pelajaranku lagi sampai kamu menyadari apa yang sudah kamu lakukan padaku hari ini. . Aku khawatir jika kamu ikut di kelas, nanti semakin banyak lagi karyaku yang kamu rusak sembarangan  tanpa alasan yang jelas

Murid : Ya udah…*pergi keluar tanpa menengok kembali*

Aku menenangkan diriku yang sebenarnya menahan luapan emosi. Aku tidak tahu apa yang membuat gadis kecil dari kelas 2 itu begitu keras dan dingin seperti sebongkah batu kali. Sebab ini bukan kali pertama ia bermasalah dengan kekerasan hatinya. Pastinya bukanlah tanpa sebab ia menjadi demikian dinginnya. Haruskah aku bersikap keras untuk meruntuhkan dinding batu yang dibangunnya?

Meski mungkin memakan waktu yang agak lama, tidak ada cara lain yang lebih baik untuk membentuk batu kecuali menetesinya dengan air secara konstan daripada menghancurkan batu dengan palu dan pahat yang keras. Kekerasan (verbal, fisik, personality) hanya akan selalu memunculkan mata rantai kekerasan baru. Dan satu-satunya jalan memutus rantai itu adalah cinta yang konsisten. Jika aku mencintai muridku, tentu aku akan konsisten mengajaknya melembutkan hati dan menggerakkannya untuk bersikap lebih baik dari kemarin.

Pertanyaan berikutnya : Siapkah dan mau cukup bersabarkah aku menjelma tetes-tetes air yang perlahan membentuk batu? Siapkah aku bertindak konsisten pada anak-anak muridku dan diriku sendiri?

4 comments

  1. lulu · February 13, 2012

    tuh anak kalau dibiarkan tar gedenya jadi apa ya mbak……*ngurut dada*

    • bugurufunky · February 13, 2012

      jadi margareth thatcher. iron lady. hehehe

  2. tiwi · February 13, 2012

    Yg sabar yaa, Ki. Ngenes banget sih bacanya. Tp menurut tiwi, tetep bukan salah anak itu. Kelas 2, msh kuat pengaruhnya apa yg “membentuk” dia kan ?
    Mmmhh, apa gak mending ngobrol sama ibu-nya yaa harusnya kalo’ seperti itu… 😦

    • bugurufunky · February 13, 2012

      belum Wi…masih menunggu kesadaran anak itu minta maaf dulu. kalo minggu ini (stlh lewat seminggu dr kejadian) dia belum minta maaf, aku nggak akan terima dia di kelas dan baru panggil orangtuanya 🙂

Leave a comment